riko

riko

Minggu, 27 Februari 2011

SENSOR


SENSOR

1. Pendahuluan
• Sensor (transducer) bertujuan untuk mengubah besaran fisik menjadi sinyal elektris.
• Besaran yang paling banyak diukur : posisi, force, kecepatan, percepatan, tekanan, level, flow, temperature.

2. Spesifikasi Statik
• Ditentukan oleh manufacturer melalui kalibrasi.
Error :
• Definisi : perbedaan antara nilai variabel yang sebenarnya dan nilai pengukuran variabel.
• Seringkali nilai sebenarnya tidak diketahui. Untuk kasus tersebut accuracy akan menunjukkan range/bound kemungkinan dari nilai sebenarnya.
Accuracy :
• Istilah ini digunakan untuk menentukan error keseluruhan maksimum yang diharapkan dari suatu alat dalam pengukuran.
• Accuracy biasanya diekspresikan dalam inaccuracy.
• Beberapa jenis accuracy terhadap :
1. Variabel yang diukur.
Misal : akurasi dalam pengukuran suhu ialah 2oC, berarti ada ketidak akuratan (uncertainty) sebesar 2oC pada setiap nilai suhu yang dikur.
2. Prosentase dari pembacaan Full Scale instrumen.
Misal : akurasi sebesar 0.5% FS pada meter dengan 5 V Full Scale, berarti ketidakakuratan pada sebesar 0.025 volt.
3. Prosentase span (range kemampuan pengukuran instrumen).
Misal : jika sebuah alat mengukur 3% dari span untuk pengukuran tekanan dengan range 20-50 psi, maka akurasinya menjadi sebesar ( 0.03) (50 – 20) = 0.9 psi.
Sensitivity
• Definisi : perubahan pada output insrtumen untuk setiap perubahan input terkecil.
• Sensitivitas yang tinggi sangat diinginkan karena jika perubahan output yang besar terjadi saat dikenai input yang kecil, maka pengukuran akan semakin mudah dilakukan.
• Misalnya, jika sensitivitas sensor temperatur sebesar 5mV/oC berarti setiap perubahan input 1oC akan muncul output sebesar 5 mV.
Repeatibility
• Definisi : pengukuran terhadap seberapa baik output yang dihasilkan ketika diberikan input yang sama beberapa kali.
• Repeatibility vs Accuracy (lihat Gambar 3-3, “ICE”)
• Persamaan : repeatibility =
Hysteresis
• Definisi : perbedaan output yang terjadi antara pemberian input menaik dan pemberian input menurun dengan besar nilai input sama. (Lihat Gambar 3-6, “Industrial Control Engineering”)
• Salah satu indikator repeatability.
Linearity
• Definisi : hubungan antara output dan input dapat diwujudkan dalam persamaan garis lurus.
• Linearitas sangat diinginkan karena segala perhitungan dapat dilakukan dengan mudah jika sensor dapat diwujudkan dalam persamaan garis lurus. (Lihat Gambar 3-3, “ICE”).

3. Spesifikasi Dinamis
• Menunjukkan seberapa baik respon sensor terhadap perubahan pada inputnya secara kontinyu dan teratur.
• Dilakukan dengan memberikan input step dan sinusoidal.
Input Step
• Jika sensor berorde satu, parameter yang diamati : rise time, time constant, dan dead time. (Lihat Gambar 3-8 sampai 3.10, “ICE”)
o Rise Time : waktu yang diperlukan agar output mencapai 10 – 90% dari respon penuh saat diberikan input step.
o Time Constant : waktu yang diperlukan output untuk mencapai 63.2% dari nilai maksimal yang mungkin.
o Dead time : waktu yang diperlukan output untuk mulai berubah.
• Jika sensor berorde dua, parameter yang diamati : damping coefficient, resonant frequency, settling time, dan percent overshoot. (Llihat Gambar 3-11, 3-12, “ICE”)
o Damping coeffecient dan resonant frequency menentukan bentuk dan waktu respon sensor.
o Settling time adalah waktu yang diperlukan sampai terbentuk output yang diinginkan.
o Percent Overshoot adalah besarnya lonjakan respons output dibanding kondisi stabil.

4. Pertimbangan dalam Desain
Misal : temperature transducer
1. Identifikasi “natur” pengukuran
Tahap ini meliputi nilai nominal dan range pengukuran temperatur, kondisi fisik lingkungan dimana pengukuran dilakukan, kecepatan pengukuran yang diperlukan, dan lain-lain
2. Identifikasi sinyal output yang dibutuhkan
Kebanyakan output yang dihasilkan sebesar : arus standar 4 – 20 mA atau tegangan yang besarnya diskalakan untuk mewakili range pengukuran temperatur. Mungkin ada kebutuhan lain sepertai isolasi impedansi output, dan lain-lain. Dalam beberapa kasus mungkin diperlukan digital encoding pada output.
3. Memilih sensor yang tepat.
Berdasar langkah pertama, kita pilih sensor yang sesuai dengan spesifikasi : range dan lingkungan. Selanjutnya, harga dan ketersediaan sensor juga harus dipertimbangkan.
4. Mendesain pengkondisi sinyal yang dibutuhkan.
Dengan pengkondisi sinyal, output dari transducer akan diubah menjadi bentuk sinyal output yang kita perlukan.

5. Macam - Macam Sensor

5.1. Sensor temperatur
Resistance Temperatur Detector
• Sensor temperatur berdasar prinsip kenaikan resistansi logam (metal) yang sebanding dengan kenaikan temperatur.
• Jenis – jenis metal : platinum (repeatable, sensitive, mahal), nikel (kurangrepeatable, kurang sensitive, murah), dan lain-lain.
Sensitivitas
• Dilihat dari rasio perubahan pada tahanan dan temperatur.
• Platinum : 0.004/oC, nikel : 0.005/oC.
Waktu respon
• Sekitar 0.5 sampai 5 detik atau lebih. Kelambatan respon ini disebabkan kelambatan konduktivitas termal untuk membawa alat ke kondisi thermal equilibrium dengan lingkungannya.
• Besarnya time constants berbeda untuk kondisi “free air” (respon lambat) dan kondisi “oil bath” (respon cepat).


Konstruksi
• Berupa gulungan/belitan sejenis kawat dari logam tertentu.
• Ada juga yang dilindungi oleh sheat atau protective tube yang sangat penting untuk lingkungan yang “tidak aman”, meski hal itu menaikkanwaktu respon.
Signal conditioning
• Karena perubahan resistansi terhadap perubahan temperatur sangat kecil (0.4%), RTD biasanya digunakan dalam rangkaian jembatan. (Lihat Gambar 2.7, “PCIT”)
• Supaya resistansi kabel tidak berubah saat resistansi RTD berubah, perlu ditambahkan compensation line.
Range
• Range efektif RTD bergantung pada jenis kawat yang digunakan sebagai elemen aktif. Untuk jenis platinum rangenya –100oC sampai 650oC, sedang untuk jenis nikel rangenya dari –180oC sampai 300oC.

5.2 Sensor Posisi
A. Potentiometric
• Sensor posisi paling sederhana dengan melibatkan perpindahan wiper pada potensiometer. Alat ini mengubah gerakan linear atau anguler menjadi perubahan resistansi yang dapat dikonversi secara langsung menjadi sinyal tegangan atau arus. Lihat Gambar 5.1, “PCIT”.
B. Linear Variable Differential Transformer (LVDT)
Prinsip kerja
• Berdasar prinsip variable reluctance, dimana inti yang bergerak bertujuan untuk mengubah fluks magnetik diantara 2 gulungan kawat atau lebih. Lihat Gambar 5.8, “PCIT”.
• Intinya berupa material transparan (permeable) yang dapat bergerak bebas melalui bagian tengah dari form. Coil primer dieksitasi oleh sumber tegangan ac. Fluks yang terbentuk oleh coil primer dihubungkan dengan 2 coil sekunder, menginuksikan tegangan ac pada masing – masing coil.
• Ketika inti diletakkan di tengah, tegangan yang diinduksikan coil primer besarnya sama. Jika inti bergerak ke salah satu sisi, tegangan ac yang lebih besar akan diinduksikan ke coil yang dekat, sedangkan coil yang lain menerima induksi tegangan ac lebih kecil. Selain itu, juga terjadi perubahan fase tegangan yang berhubungan dengan arah gerakan inti.
• Jika 2 coil sekuder dihubungkan secara seri, maka 2 tegangan akan dikurangkan, sehingga terbentuk selisih tegangan.
Signal Conditioning
• Terdiri dari rangkaian pendeteksi fasa dari selisih tegangan coil sekunder.
• Output berupa tegangan DC yang amplitudonya berhubungan dengan seberapa jauh perpindahan inti dan polaritasnya menunjukkan arah gerakan inti.

5.3 Sensor Strain
A. Metal Strain Gauges (SGs)
Prinsip kerja
• Strain : hasil pemberian gaya atau tekanan pada benda padat/solid.
• Sensor ini bekerja berdasar perubahan resistansi logam yang disebabkan logam tersebut berubah panjangnya.
o
Dimana : R = perubahan resistansi l = perubahan panjang
R0 = resistansi mula-mula l0 = panjang mula-mula
Instalasi
• Cara memasang SG ini dilakukan dengan melekatkan kabel logam atau foil pada elemen yang akan diukur strainnya. Kemudian saat elemen tersebut ditekan dan berubah bentuk, maka SG juga akan berubah bentuk dan menghasilkan perubahan resistansi.
• Spesifikasi SG diindikasikan oleh Gauge Factor
o GF =
Dimana : = perubahan kecil pada resistansi gauge karena strain.
Strain = = perubahan kecil pada
Konstruksi
• Berupa logam tipis yang dilekati elemen kabel atau foil.
• Umumnya unidirectional, hanya memberi respon di salah satu arah saja.
Signal Conditioning
• Menggunakan rangkaian jembatan karena perubahan resistansi yang kecil dan adanya efek temperatur


Sumber :
“Process Control Instrumentation Technology”, Curtis D. Johnson
“Industrial Control Engineering”, J. Michael Jacob

HUBUNGAN DELTA-WYE DAN WYE-DELTA

Hubungan Bintang-Delta (Y-Δ)

Sebagian besar jenis hubungan ini digunakan pada sisi terima saluran transmisi dimana tegangan mulai diturunkan. Lilitan primer adalah dengan hubungan bintang (Y) dengan netral ditanahkan. Sementara lilitan sekunder adalah hubungan delta (Δ), seperti pada gambar 9.

Gambar 9 : Hubungan Bintang – Delta Trafo 3-Fasa

Rasio antara sekunder dan primer tegangan fasa-fasa adalah 1/√3 kali rasio setiap trafo. Terjadi sudut 30° antara tegangan fasa-fasa antara primer dan sekunder yang berarti bahwa trafo Y-Δ tidak bisa diparalelkan dengan trafo Y-Y atau trafo Δ-Δ. Dan juga, ketiga harmonisa arus yang mengalir pada Δ dapat menimbulkan suatu fluks sinusoidal.

Transformator hubungan segitiga-bintang (delta-wye)

Pada hubungan segitiga-bintang (delta-wye), tegangan yang melalui setiap lilitan primer adalah sama dengan tegangan line masukan. Tegangan saluran keluaran adalah sama dengan 1,73 kali tegangan sekunder yang melalui setiap transformator. Arus line pada phasa A, B dan C adalah 1,73 kali arus pada lilitan sekunder. Arus line pada fasa 1, 2 dan 3 adalah sama dengan arus pada lilitan sekunder.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnyXElL9f53XIfiuEBuN2ZPYjypTp3Fcm4f5PYNgh-yVzgUEFQT-iHuUHaE0Pw5FwYV7R9xlrVa9jarTEAQCBLlhvHudxtwSLBfW7h1twe4WcUsZh2Uole31wX1jmHpciGabLbievfVLo/s320/hubungan+delta-wye.jpg
Gambar 6. Hubungan Segitiga-Bintang (Delta-wye)

Hubungan delta-bintang menghasilkan beda fasa 30° antara tegangan saluran masukan dan saluran transmisi keluaran. Maka dari itu, tegangan line keluaran E12 adalah 30° mendahului tegangan line masukan EAB, seperti dapat dilihat dari diagram phasor. Jika saluran keluaran memasuki kelompok beban terisolasi, beda fasanya tidak masalah. Tetapi jika saluran dihubungkan paralel dengan saluran masukan dengan sumber lain, beda phasa 30° mungkin akan membuat hubungan paralel tidak memungkinkan, sekalipun jika saluran tegangannya sebaliknya identik.

Sabtu, 26 Februari 2011

SENSOR GETAR SEDERHANA


SENSOR GETAR SEDERHANA


Benda selalu bergerak dengan amplitudo dan frekuensi yang berubah-ubah tergantung dari sumbernya. Dari kenyataan ini, timbul kenginan untuk membuat suatu alat yang dapat mendeteksi getaran/gerakan ini. Namun biasanya, getaran ini sangat kecil amplitudonya sehingga tidak terdeteksi oleh manusia. Oleh karena itu, harus digunakan alat yang memiliki sensitivitas tinggi. Terinsipirasi dari percobaan interferometer yang memiliki sensitivitas tinggi, dibuatlah suatu sensor getaran yang memanfaatkan sifat interferensi gelombang elektromagnetik (cahaya) yang digunakan dalam percobaan tersebut. Komponen penting penyusun sensor tersebut adalah sumber laser, photransistor dan catu daya.

KOMPONEN ELEKTRONIK DALAM RANGKAIAN

» Phototransistor
Phototransistor biasa disebut juga photoduodiode yang merupakan komponen semikonduktor yang sensitif terhadap cahaya dari p-n photodiode. Biasanya phototransistor dirangkai dalam konfigurasi common-emitter dengan basis tidak disambungkan dan radiasi cahaya dikonsentrasikan pada daerah sekitar collector-junction. Cara kerja komponen ini dapat dimengerti dengan collector-junction di reverse-bias. Phototransistor cukup peka terhadap perubahan intensitas cahaya yang masuk ke dalamnya. Dengan adanya perubahan intensitas cahaya yang masuk ke phototransistor, maka akan terjadi perubahan resistansi.

» Catu Daya
Catu daya adalah suatu rangkaian sumber tegangan yang digunakan untuk menghasilkan tegangan DC dari masukan berupa tegangan AC. Rangkaian catu daya tersusuna atas transformator, dioda bridge penyearah, kapasitor, dan dioda Zener.

sensor1


Pada transformator, tegangan AC masukan dapat diturunkan atau dinaikkan dengan cara mengatur jumlah lilitan kumparan, sesuai dengan persamaan
sensorrumus1
Hasil tegangan yang telah diubah oleh transfomator kemudian masuk dalam rangkaian dioda bridge penyearah:

sensor2

Saat tegangan di A lebih besar daripada tegangan di C, maka arus akan mengalir dari A ke C. Arus tidak dapat mengalir lewat dioda AD, sehingga akan mengalir melalui dioda AB menuju titik B dan akhirnya menuju hambatan. Arus dari hambatan akan kembali ke titik D. Di sini arus tidak akan melalui dioda AD sebab tegangan A lebih tinggi daripada C, sehingga arus akan mengalir pada dioda CD. Demikian pula sebaliknya, jika tegangan C lebih besar daripada A, maka arus akan mengalir melalui dioda BC menuju titik B dan akan kembali pada titik D. Melalui dioda AD, arus akan ke titik A. Dari sini tampak bahwa arus keluaran akan selalu dari titik B dan menuju titik D, sehingga rangkaian ini merupakan rangkaian penyearah gelombang penuh.
Kapasitor C dirangkai secara pararel dengan hambatan. Fungsi kapasitor dalam rangkaian ini adalah sebagai perata arus, sehingga arus keluaran cukup konstan, tidak berupa pulsa-pulsa arus. Dioda Zener digunakan dalam rangkaian dengan fungsi untuk menjaga tegangan keluaran agar selalu konstan untuk nilai arus berapapun. Hal ini diperlukan agar hasil keluaran tetap sehingga tidak merusak alat.

TINJAUAN TEORETIK

Solusi persamaan gelombang secara umum dapat dinyatakan
sensorrumus2
dengan
sensorrumus3
dan
sensorrumus4
Bila dua buah gelombang bertemu, maka akan terjadi interferensi antara dua buah gelombang tersebut sehingga dapat dianggap sebagai sebuah gelombang baru dengan persamaan
sensorrumus5
Bila arah rambat kedua gelombang tersebut saling berlawanan dan frekuensi dari gelombangnya sama, maka dapat tercipta suatu gelombang berdiri, yaitu gelombang dengan simpul dan perut gelombang pada titik-titik tertentu yang bergantung pada jaraknya saja.
Dalam sensor getaran ini, digunakan perpaduan gelombang dengan cara pemantulan. Dengan demikian, amplitudo, frekuensi sudut, dan bilangan gelombang kedua gelombang sama, hanya arah rambatnya saja yang berbeda. Untuk setiap titik pada lintasan cahaya akan terjadi interferensi gelombang antara gelombang datang dan gelombang pantul. Sinar datang memiliki solusi persamaan gelombang
sensorrumus6
Pada saat pemantulan, terjadi pembalikan fasa gelombang, sehingga sinar pantul memiliki persamaan gelombang
sensorrumus7
Dengan penjumlahan 2 gelombang:
sensorrumus8
sehingga
sensorrumus9
dengan L adalah jarak sumber dengan ujung pantulan dan x jarak titik dari ujung pantulan. Pada sensor getaran yang akan dibuat, x adalah jarak sensor dengan cermin dan L adalah jarak laser dengan cermin.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan alat utama yang digunakan dalam pembuatan sensor getaran ini adalah laser, photodiode, dan juga cermin. Awal percobaan hanya ditargetkan agar sensor dapat mendeteksi getaran dengan hasil keluaran berupa suara, namun ke depannya sensor ini dapat dikembangkan agar dapat mengambil data dan menghitung frekuensi getaran. Data yang diperoleh merupakan suara dari (speaker), sedangkan untuk akuisi data mungkin bisa menggunakan Matlab atau program simulasi lainnya, tetapi ini masih belum dicoba lebih lanjut.

sensor3

HASIL PERCOBAAN

Salah satu hasil percobaan pengujian sensor yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar berikut. Keluaran dari speaker dicitrakan dengan menggunakan perangkat lunak cool edit pro.


sensor4

ANALISIS

Pada sensor getaran yang telah dibuat, prinsip interferensi cahaya diterapkan ketika cahaya ditangkap oleh phototransistor. Sinar laser ditembakkan sedemikian rupa sehingga sebagian sinar mengenai phototransistor, dan sebagian sinar diteruskan. Sinar yang diteruskan tersebut dipantulkan oleh cermin (yang akan bergetar oleh suatu faktor eksternal), dan hasil pantulannya akan ditangkap kembali oleh phototransistor, sehingga pada phototransistor akan muncul pola gelap terang.
Bila ada getaran yang terjadi, maka jarak cermin terhadap phototransistor akan berubah, dan pola gelap terang akan tergeser sehingga phototransistor dapat menangkap perubahan tersebut. Ini berarti intensitas yang diterima oleh phototransistor jadi berubah dan demikian pula tegangan pada speaker, sehingga akan terdeteksi getaran yang keluarannya berupa bunyi.
Pada percobaan awal, sumber tegangan untuk laser tidak menggunakan baterai tetapi digunakan catu daya. Akan tetapi, transformator yang digunakan memberikan sinyal tegangan yang memiliki frekuensi 50 Hz sehingga memberikan derau (noise) pada alat ini dan muncul pada speaker. Rangkaian awal dari percobaan ini adalah seperti gambar berikut.

sensor5

Oleh karena adanya noise ini, maka rancangannya diubah, yaitu dengan menggunakan sumber tegangan AC menjadi DC secara langsung sehingga noise bisa teratasi.

sensor6

Sensor getaran yang dibuat hanya akan mendeteksi getaran cermin dalam arah satu dimensi saja yaitu arah yang sejajar dengan sinar datang dan sinar pantul laser. Perubahan dalam arah tegak lurus sinar datang tidak akan mempengaruhi jarak antara cermin dengan laser dan phototransistor. Dengan kata lain itu tidak mengubah pola gelap terang yang terjadi. Kerasnya suara pada speaker dipengaruhi oleh kecepatan dari gerakan cermin sehingga pola gelap terang juga berubah dengan cepat. Hal ini diakibatkan oleh kerasnya suara speaker bergantung pada laju perubahan tegangan terhadap waktu. Jadi, semakin cepat laju perubahan ini (laju cermin), maka akan semakin keras suaranya.

RINGKASAN

  • Sensor getaran yang telah dibuat ternyata memiliki sensitivitas tinggi karena dapat mendeteksi gerakan/getaran yang sangat kecil. Oleh karena sensitivitas yang tinggi ini, diputuskan agar sensor tidak menggunakan sumber tegangan AC karena dapat menimbulkan noise berfrekuensi 50 hertz.
  • Sensor ini harus menggunakan laser yang memiliki koherensi tinggi karena dibutuhkan pola gelap terang (bukan pola terang yang memiliki intensitas berbeda-beda).
  • Sensor dapat mendeteksi getaran pada arah yang sejajar dengan sinar laser.

BAHAN BACAAN

  • P. Horowitz, 1980, The Art of Electronics: 2nd edition (London: Cambridge University Press).
  • K. Krane, 1996, Modern Physics: 2nd edition(New York: John Wiley and Sons, Canada).
  • Millman dan Halkias, 1964, Integrated Electronics, (Mc Graw Hill, Tokyo).
  • H.J. Pain, 1995, The Physics of Vibrations and Waves, 4th edition (New York: John Wiley & Sons).
  • M. Sayer dan A. Mansingh, 2000, Measurement, Instrumentation and Experiment Design in Physics and Engineering (Prentice Hall, India).

Minggu, 13 Februari 2011

Harus PLTN, Mengapa???


Mengapa Harus PLTN?
Posted on December 10, 2008 by konversi
(Kadek Fendy Sutrisna, 10 Desember 2008)

Sekarang ini Indonesia sedang mengalami krisis energi listrik. Seperti dapat kita lihat pada tabel berikut : sejak tahun 2002, kebutuhan listrik di Indonesia sudah melebihi kapasitas pembangkit listrik yang kita miliki.



Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini PLN sebagai pelaksananya, antara lain : dengan merencanakan membangun pembangkit listrik 10.000 MWatt hingga tahun 2010. Sebagian besar pembangkit ini berbahan bakar batubara. Diseluruh indonesia akan dibangun PLTU, dan pembangunan di pulau Jawa lebih diprioritaskan dikarenakan industri yang ada di Indonesia rata-rata berada di jawa.

Pemakaian batu bara untuk PLTU akan meningkatkan harga dari batu bara itu sendiri, hal ini akan menyebabkan harga listrik naik dari tahun ke tahun. (Tantangan Indonesia). Disamping itu dari sisi lingkungan, akan terjadi peningkatan sulfida SOx dan COx serta zat lain hasil pembakaran masuk ke lingkungan. Issue yang sedang hangat adalah global warming, tak ayal bangsa kita nantinya akan dituding-tuding oleh bangsa lain di dunia sebagai salah satu negara yang menyebabkan pemanasan dunia. Tabel Berikut menunjukan emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh berbagai jenis pembangkit listrik. Terlihat bahawa PLTU menjadi pilihan yang sangat ‘mahal’ untuk diwujudkan.



Untuk mendukung pengembangan industri nasional di masa mendatang diperlukan penyediaan sumber energi yang cukup besar. Berikut, saya cantumkan beberapa data tentang pembangkit listrik yang mungkin dikembangkan di Indonesia :



Gagasan tentang kemungkinan pembangunan reaktor daya di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, muncul pada seminar tenaga atom pertama yang diselenggarakan bersama oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) di Bandung pada tahun 1962. Sebagai tindak lanjut telah dilakukan beberapa studi introduksi PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia yang secara efektif telah dimulai sejak tahun 1972 dengan pembentukan Komisi Persiapan Pembangunan-PLTN (KP2-PLTN), dan berlangsung hingga saat ini. Di bawah ini disajikan hasil studi perencanaan energi dengan opsi nuklir untuk periode 1991 sampai dengan 2007. (http://www.infonuklir.com)



Rencana pengembangan PLTN di Indonesia :



Gambaran empat buah pembangkit listrik tenaga nuklir type PWR di Muria pada tahun 2025 :



Dari data NOAA dan CARMA di tahun 2007 (www.nuclearoil.com) juga menyebutkan bahwa annuall net CO2 accumulation yang berjumlah 16.3 giga ton per tahun di atmosfer dapat dikurangi sebesar 11 giga ton per tahun dengan cara mengganti pembangkit listrik berbahan bakar fosil menjadi PLTN.”

Perkembangan teknologi PLTN :







Disamping PLTN, berbagai aplikasi iptek nuklir seperti di bidang pertanian, peternakan, kesehatan, industri dan lingkungan sampai saat ini juga sudah dirasakan di 23 propinsi di seluruh Indonesia.

“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya“ (The World Commission on Environmental and Development)

Mengapa harus PLTN? Mari kita berdiskusi !

Nb : Kata sejarah, dulu halaman kita sehijau halaman tetangga. Ada Borobudur, dan Kanal Kalimalang, sistem Subak, antara lain jadi penghias teknologisnya.

Karena a-b-c, ia jadi kering, tak sedap dipandang orang lewat. Mudah-mudahan, PLTN bukan a-b-c. =)

Pembangkit Listrik Masa Depan Nusantara

Pembangkit Listrik Masa Depan Indonesia
Posted on February 18, 2009 by konversi
Pembangkit Listrik Masa Depan Indonesia
Kadek Fendy Sutrisna ST. dan Ardha Pradikta Rahardjo
Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung
http://konversi.wordpress.com
Pendahuluan
Setelah pulih dari krisis moneter pada tahun 1998, Indonesia mengalami lonjakan hebat dalam konsumsi energi. Dari tahun 2000 hingga tahun 2004 konsumsi energi primer Indonesia meningkat sebesar 5.2 % per tahunnya. Peningkatan ini cukup signifikan apabila dibandingkan dengan peningkatan kebutuhan energi pada tahun 1995 hingga tahun 2000, yakni sebesar 2.9 % pertahun. Dengan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan listrik indonesia akan terus bertambah sebesar 4.6 % setiap tahunnya, hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030. Seperti terlihat pada Gambar 1. [ER Indonesia]


Tentunya pemerintah pun tidak tinggal diam dalam menghadapi lonjakan kebutuhan energi, terutama energi listrik. Salah satu langkah awal yang pemerintah lakukan adalah dengan membuat blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 – 2025 (Keputusan Presiden RI nomer 5 tahun 2006). Secara garis besar, dalam blueprint tersebut ada dua macam solusi yang dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025, yaitu peningkatan efisiensi penggunaan energi (penghematan) dan pemanfaatan sumber-sumber energi baru (diversifikasi energi). Mengingat rasio elektrifikasi yang masih relatif rendah, yaitu 63 % pada tahun 2005, sedangkan Indonesia menargetkan rasio elektrifikasi 95 % pada tahun 2025, maka pembahasan pada artikel ini akan lebih diarahkan pada pemanfaatan sumber energi primer sebagai pembangkit listrik.



2. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya energi yang berlimpah dan beragam baik yang bersumber dari fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas bumi. Ataupun sumber energi alternatif dan terbarukan lainnya seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, geothermal, biomasa dan lain-lain. Meskipun potensi sumber energi yang dimiliki berlimpah, Indonesia sampai saat ini tetap belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.

Diversifikasi energi (bauran sumber energi) merupakan suatu konsep / strategi yang dapat dipergunakan sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan bauran energi (energy mix) menekankan bahwa Indonesia tidak boleh hanya tergantung pada sumber energi berbasis fosil, namun harus juga mengembangkan penggunaan energi terbarukan. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu dikembangkan dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatandan pengelolaan energi nasional, dengan mempertimbangkan potensi energi, permintaan energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya seperti harga energi, teknologi, pajak, investasi dan sebagainya.

Pada tahun 2005, sumber utama pasokan energi Indonesia adalah minyak bumi ( 54.78 % ), disusul gas bumi ( 22,24 % ), batubara ( 16.77 % ), Air ( 3.72 %) dan geothermal ( 2.46 % ). Sasaran pemerintah pada tahun 2025, diharapkan terwujudnya bauran energi yang lebih optimal, yaitu : minyak bumi ( < 20 % ), gas bumi ( > 30 %), batubara ( > 33 % ), biofuel ( > 5 % ), panas bumi ( > 5 % ), Energi terbarukan lainnya ( > 5 % ) dan batubara yang dicairkan ( > 2 % ) [BluePrint]



Artikel ini akan mengkaji kelebihan dan kekurangan masing-masing sumber energi di Indonesia. Dengan memaparkan kelebihan dan kekurangan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mendukung program pemerintah dalam mengembangkan energi di Indonesia berdasarkan blueprint pengelolaan energi nasional (Presidential degree 5, 2006). Artikel ini merupakan salah satu upaya dan kontribusi nyata dari penulis (insinyur atau para ahli di perguruan tinggi) untuk dapat membangun negara dan bangsa Indonesia yang lebih bermartabat karena mampu mandiri di bidang energi.

3. Kriteria Pemilihan Pembangkit
Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi yang dapat dikembangkan menjadi pembangkit listrik, namun kenyataannya proses realisasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Pemilihan pembangkit listrik bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang, seperti: prediksi pertumbuhan beban per tahun, karakteristik kurva beban, keandalan sistem pembangkit, ketersediaan dan harga sumber energi primer yang akan digunakan, juga isu lingkungan, sosial dan politik.



3.1 Karakteristik Beban
Hingga saat ini tidak ada satu alat pun yang dapat menyimpan energi listrik dalam kapasitas yang sangat besar. Untuk itu besarnya listrik yang dibangkitkan harus disesuaikan dengan kebutuhan beban pada saat yang sama. Apabila melihat kurva beban harian pada Gambar 3, sebagai contoh kurva beban listrik di Pulau Jawa, terlihat bahwa beban yang ditanggung PLN berubah secara fluktuatif setiap jamnya.

Secara garis besar ada 3 tipe pembangkit listrik berdasarkan waktu beroperasinya. Tipe base untuk menyangga beban-beban dasar yang konstan, dioperasikan sepanjang waktu dan memiliki waktu mula yang lama. Tipe intermediate biasanya digunakan sewaktu-waktu untuk menutupi lubang-lubang beban dasar pada kurva beban, memiliki waktu mula yang cepat dan lebih reaktif. Tipe peak/puncak, hanya dioperasikan saat PLN menghadapi beban puncak, umumnya pembangkit tipe ini memiliki keandalan yang tinggi, namun tidak terlalu ekonomis untuk digunakan terus-menerus.

Melihat kurva diatas pula, maka kebijakan mengenai pembangunan pembangkit baru juga harus merefleksikan kurva beban sesuai dengan proyeksi kebutuhan listrik dimasa depan. Maka nantinya akan terlihat berapa pembangkit yang harus menjadi pembangkit tipe base dan berapa yang menjadi pembangkit mendukung beban intermediate dan beban puncak.


3.2 Keandalan Pembangkit
Salah satu hal penting dari penyediaan pasokan energi listrik adalah isu keandalan. Keandalan kapasitas pembangkit didefenisikan sebagai persesuaian antara kapasitas pembangkit yang terpasang terhadap kebutuhan beban. Artinya pasokan energi diharuskan selalu tersedia untuk melayani beban secara kontinyu.

Banyak faktor yang menjadi parameter keandalan dan kualitas listrik. Diantaranya : (i) Ketidakstabilan frekuensi (ii) Fluktuasi tegangan (iii) interupsi atau pemadaman listrik. Untuk parameter pertama dan kedua, umumnya permasalahannya muncul di sektor transmisi atau distribusi. Sedangkan parameter ketiga lebih banyak pada sektor pembangkitan, karena terkait masalah pemenuhan kapasitas pasokan terhadap beban.

Metoda yang biasa digunakan untuk menentukan indeks itu adalah dengan metoda LOLP (Loss Of Load Probability) atau sering dinyatakan sebagai LOLE (Loss Of Load Expectation). Probabilitas kehilangan beban adalah metode yang dipergunakan untuk mengukur tingkat keandalan dari suatu sistem pembangkit dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya peristiwa sistem pembangkit tidak dapat mensuplai beban secara penuh.

Banyak kegagalan pembangkit terjadi akibat tidak tersedianya sumber energi primer. Permasalahan ketersediaan ini seringkali menimpa pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil. Di Indonesia sendiri banyak pembangkit berbahan bakar gas yang harus dioperasikan dengan bahan bakar minyak karena langkanya ketersediaan gas untuk konsumsi pembangkit Indonesia. Atau bisa juga karena masalah distribusi yang tersendat, seperti masalah kapal batu bara yang tidak bisa merapat, terganggu akibat faktor cuaca. Sedangkan pada kebanyakan pembangkit listrik energi terbarukan, ketersediaanya memang bisa dibilang cukup menjanjikan, karena semuanya memang sudah tersedia di alam dan tinggal dimanfaatkan saja.



3.3 Aspek Ekonomi
Pertimbangan aspek ekonomi pembangkit umumnya meliputi 3 lingkup besar, yaitu: (i) biaya investasi awal; (ii) biaya operasional; (iii) biaya perawatan pembangkit. Sifat ekonomis sebuah sistem pembangkit listrik dapat dilihat dari harga jual listrik untuk setiap kWh (kilo watt kali jam). Salah satu faktor yang mempengaruhi bahwa pembangkit listrik-ekonomis (harga jual listrik serendah mungkin untuk setiap kWh) adalah biaya bahan bakar. Secara umum, biaya bahan bakar untuk pembangkit berbahan bakar fosil adalah 80 % dari biaya pembangkitan dan untuk pembangkit nuklir adalah 50 % dari biaya pembangkitan.


3.4 Aspek Lingkungan dan Geografis
Sistem harus sesuai dengan kondisi geografis dan hubungan antarnegara. Sebuah pembangkit dibangun mengacu pada letak geografis dan pengaruhnya terhadap negara tetangga atau negara lain. Misalkan sebuah PLTU dioperasikan dan mengeluarkan gas CO2 ke udara. Pengontrolan terhadap pengeluaran gas CO2 perlu di lakukan juga oleh negara tetangga atau negara lain. Di dalam hal ini, kerja sama internasional sangat diperlukan untuk menjamin sistem berkeselamatan andal dan ramah lingkungan.

3.5 Aspek Sosial dan Politik
Sistem harus sesuai dengan program penelitian dan pengembangan negara itu serta terbentuknya kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin tingkat keselamatan sistem yang tinggi dan andal. Kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah tentang program penelitian dan pengembangan bidang energi harus sesuai / searah untuk menjamin perencanaan energi nasional di masa depan berlangsung dengan baik.

Energi nasional seharusnya dapat direncanakan dan diprediksi secara jangka pendek maupun jangka panjang dengan berdasarkan 5 kriteria pemilihan/kompatibilitas pembangkit. Hal ini untuk menjamin sebuah sistem pembangkit yang mendukung program energi nasional dapat beroperasi dengan baik dan berkeselamatan. Andal agar lingkungan tidak tercemari dan hubungan kerja sama internasional tetap berlangsung dengan baik. Berdasarkan kriteria tersebut, perencanaan bauran energi nasional sangat diperlukan untuk menghilangkan ketergantungan teknologi kepada salah satu jenis pembangkit, serta menjamin keberlangsungan kebutuhan energi di masa depan.


4 Jenis-Jenis Pembangkit
Krisis energi dunia yang terjadi pada tahun 1973 dan tahun 1979 memberikan pengalaman berharga kepada Indonesia khususnya tentang masalah dan dampak yang terjadi akibat ketergantungan pada satu jenis energi yang diimpor yaitu minyak bumi. Kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya permintaan untuk pusat-pusat pembangkit tenaga listrik yang dapat mempergunakan jenis bahan bakar lain. Pada saat ini terdapat 5 jenis bahan bakar untuk pembangkitan tenaga listrik skala besar, yaitu : minyak, gas, batubara, hidro dan nuklir. Kemudian berkembang tuntutan-tuntutan lain, yaitu keperluan peningkatan efisiensi pembangkitan dan perlunya teknologi yang lebih bersahabat lingkungan. Perkembangan pembangkit listrik energi terbarukan, biomasa dan geothermal juga menjadi suatu sasaran yang penting.



4.1 Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Minyak
Terminologi pembangkit listrik berbahan bakar minyak pada umumnya diidentikkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Walau pada kenyataannya bahan bakar minyak juga terkadang digunakan pada PLTG (akan dibahas pada 2.2). Prinsip kerja PLTD adalah dengan menggunakan mesin diesel yang berbahan bakar High Speed Diesel Oil (HSDO). Mesin diesel bekerja berdasarkan siklus diesel. Mulanya udara dikompresi ke dalam piston, yang kemudian diinjeksi dengan bahan bakar kedalam tempat yang sama. Kemudian pada tekanan tertentu campuran bahan bakar dan udara akan terbakar dengan sendirinya. Proses pembakaran seperti ini pada kenyataannya terkadang tidak menghasilkan pembakaran yang sempurna. Hal inilah yang menyebabkan efisiensi pembangkit jenis ini rendah, lebih kecil dari 50 %. Namun apabila dibandingkan dengan mesin bensin (otto), mesin diesel pada kapasitas daya yang besar masih memiliki efisiensi yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan rasio kompresi pada mesin diesel jauh lebih besar daripada mesin bensin.

Keuntungan utama penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar minyak atau sering disebut dengan PLTD adalah dapat beroperasi sepanjang waktu selama masih tersediannya bahan bakar. Kehandalan pembangkit ini tinggi karena dalam operasinya tidak bergantung pada alam seperti halnya PLTA. Mengingat waktu start-nya yang cepat namun ongkos bahan bakarnya tergolong mahal dan bergantung dengan perubahan harga minyak dunia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, PLTD disarankan hanya dipakai untuk melayani konsumen pada saat beban puncak saja.

Investasi awal pembangunan PLTD yang relatif murah, kebutuhan energi di daerah-daerah terisolasi yang mendesak dan kebutuhan energi daerah-daerah yang belum terlalu besar, pemerintah Indonesia berinisiatif membangun PLTD yang berfungsi sebagai base-supply untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah-daerah ini, untuk mengurangi biaya transmisi dan rugi-rugi jaringan dalam menyalurkan energi listrik dari kota terdekat.

Dengan digunakannya bahan bakar konvensional maka adanya kemungkinan pembangkit ini akan sulit dioperasikan di masa depan karena persediaan minyak bumi dunia yang semakin menipis. Harga minyak yang terus meningkat menjadi pertimbangan utama dalam menggunakan pembangkit ini. Harga minyak yang mahal diakibatkan karena pasar minyak dunia yang tidak stabil dan ongkos transportasi untuk membawa minyak tersebut ke daerah yang dituju. Padahal di sisi beban, PLN dipaksa menjual dengan harga murah. Inilah yang menyebabkan PLN rugi besar.

Penulis berpendapat bahwa dengan memperhatikan alasan utama masalah ketersediaan minyak bumi nasional yang semakin sedikit, maka akan lebih bijaksana apabila tingkat konsumsi pembangkit listrik berbahan bakar minyak dikurangi. Dengan cara seperti itu diharapkan akan mempercepat Indonesia menjadi negara yang mandiri energi, tidak terpengaruh dengan krisis energi global. Oleh karena itu, upaya bauran energi nasional pembangkit listrik di Indonesia harus segera direalisir menjadi tindakan yang konkret dan menjadi komitmen bersama.



4.2 Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas
Turbin gas kini memegang peran penting di dalam pengembangan pusat-pusat pembangkit tenaga listrik yang baru. Peran itu tampaknya masih akan terus berlanjut memasuki abad ke-21 yang akan datang. Dominasi ini disebabkan karena efisiensi termal yang dimiliki turbin gas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar lainnya. Perkembangan yang cepat dari teknologi turbin gas dimulai dari awal 1990-an, dengan mempergunakan gas bumi sebagai bahan bakar akan meningkatkan efisiensi pusat listrik siklus kombinasi (combine cycle) mendekati 60 %. Diprediksi bahwa efisiensi ini masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Pada Gambar 4 dijelaskan tentang cara kerja pembangkit listrik berbahan bakar gas. Prinsip kerja PLTG adalah dengan mamanfaatkan tekanan aliran udara ungtuk menggerakkan turbin. Pertama-tama udara dinaikkan tekanannya dengan menggunakan kompresor dan kemudian dibakar di ruang pembakaran untuk meningkatkan energinya. Pembakaran dilakukan dengan menggunakan bahan bakar gas (bisa juga digunakan MFO atau HSDO, tapi dengan efisiensi yang lebih rendah). Udara yang sudah bertekanan tinggi kemudian dialirkan melalui turbin dan menggerakkan generator, sehingga dihasilkanlah listrik. Keuntungan lain menggunakan PLTG adalah gas yang dipakai bisa dibilang lebih mudah untuk disiapkan daripada uap, sehingga PLTG bisa mulai berproduksi dengan cepat dari keadaan ‘dingin’ dalam hitungan menit, jauh lebih cepat daripada PLTU.

Satu hal yang menarik pada PLTG adalah gas yang keluar dari turbin biasanya masih ‘cukup panas’. Cukup panas disini dalam artian bila di sebelah PLTG ada sebuah PLTU, maka gas hasil proses di PLTG masih dapat digunakan untuk memanaskan boiler kepunyaan PLTU. Inilah kemudian yang dikenal dengan sebutan siklus kombinasi, sebuah pembangkit yang terdiri dari PLTG dan PLTU. Keuntungan dari pembangkit listrik gabungan ini, PLTGU (gas – uap), harga jual listriknya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga jual listrik PLTU-batubara.

Apabila Indonesia mampu mengolah dengan baik penggunaan cadangan gas bumi nasionalnya sehingga diperoleh pemasokan gas bumi untuk pembangkit dengan harga yang lebih rendah, maka biaya listrik dari pengoperasian PLTGU akan bisa lebih murah lagi. Selain pembangkitan listrik yang murah, keuntungan lain dari pembangkit listrik berbahan bakar gas bumi adalah emisi CO2 yang sangat rendah. PLTGU sering disebut sebagai bahan bakar yang ‘bersih’ sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang minimal.

Indonesia : dalam hal ini PT PLN (Persero), sekarang ini telah banyak mengoperasikan PLTGU. Dapat dikemukakan bahwa pada saat ini perusahaan Amerika GE (General Electric) berusaha untuk meningkatkan efisiensi PLTGU yang dapat melampaui 60 % dengan mempergunakan siklus kombinasi Kalina, yang mempergunakan suatu campuran dari air (H2O) dan amonia (NH3) sebagai fluida kerja. Teknologi kogenarsi, yang membangkitkan energi listrik dan panas dapat menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi lagi bahkan hingga 90 %. Teknologi ini juga sudah dimanfaatkan di beberapa pabrik di Indonesia.

Namun kendala utama perkembangan pembangkit ini di Indonesia adalah pada proses penyediaan bahan bakar gas itu sendiri. Pemeriksaan BPK menemukan bahwa jumlah kebutuhan gas bumi untuk sejumlah pembangkit PLN di Jawa dan Sumatera sebanyak 1.459 juta kaki kubik per hari, sedangkan pasokan gas yang disediakan oleh para pemasok sebanyak 590 juta kaki kubik per hari. Dengan demikian terjadi kekurangan pasokan gas sebanyak 869 juta kaki kubik per hari

Menurut data Departemen ESDM, gas bumi di Indonesia di perkirakan hanya mencukupi untuk 61 tahun kedepan. Kemudian cadangan batubara diperkirakan habis dalam waktu 147 tahun lagi, sedangkan cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 18 tahun kedepan. Agar mampu mengembangkan PLTGU di Indoneia, permasalahan persaingan penggunaan gas bumi : untuk transportasi, pembangkit listrik-industri dan konsumsi publik (program pemerintah : PT. Pertamina yang menyarankan konversi minyak tanah ke bahan bakar gas untuk memasak dan lain-lain), hal ini harus dapat diatur dengan jelas penyediaannya agar tidak menjadi dua hal yang saling kompetitif.


4.3 Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batubara
Secara global, fakta menyebutkan bahwa lebih banyak energi listrik dibangkitkan dengan batubara dibandingkan dengan bahan bakar lain. Situasi ini tampaknya masih akan terus berlanjut, hal ini disebabkan karena cadangan batubara yang besar. Namun di lain pihak, masalah utama pembangkit listrik berbahan bakar batubara adalah pembangkitan listrik ini merupakan salah satu kontributor pencemaran gas CO2 yang terbesar. Karena alasan tersebut berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi masalah pencemaran itu, yang sering dinamakan dengan teknologi batubara bersih.

Gambar 5 menunjukan cara kerja pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Pertama-tama batubara dari luar dialirkan ke penampung batubara dengan conveyor, kemudian dihancurkan dengan pulverized fuel coal sehingga menjadi tepung batubara. Kemudian batubara halus tersebut dicampur dengan udara panas oleh forced draught fan sehingga menjadi campuran udara panas dan batubara. Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batubara disemprotkan ke dalam boiler sehingga akan terbakar dengan cepat seperti semburan api. Kemudian air dialirkan ke atas melalui pipa yang ada di dinding boiler, air tersebut akan dimasak menjadi uap dan uap tersebut dialirkan ke tabung boiler untuk memisahkan uap dari air yang terbawa. Selanjutnya uap dialirkan ke superheater untuk melipatgandakan suhu dan tekanan uap hingga mencapai suhu 570° C dan tekanan sekitar 200 bar yang meyebabkan pipa akan ikut berpijar menjadi merah.

Untuk mengatur turbin agar mencapai set point, kita dapat men-setting steam governor valve secara manual maupun otomatis. Uap keluaran dari turbin mempunyai suhu sedikit di atas titik didih, sehingga perlu dialirkan ke condenser agar menjadi air yang siap untuk dimasak ulang. Sedangkan air pendingin dari condenser akan di semprotkan kedalam cooling tower. Hal inilah yang meyebabkan timbulnya asap air pada cooling tower. Kemudian air yang sudah agak dingin dipompa balik ke condenser sebagai air pendingin ulang. Sedangkan gas buang dari boiler diisap oleh kipas pengisap agar melewati electrostatic precipitator untuk mengurangi polusi dan kemudian gas yg sudah disaring akan dibuang melalui cerobong.

Teknologi gasifikasi merupakan pemecahan yang kini mulai dipandang sebagai teknologi batubara yang dapat memenuhi keperluan akan pembangkitan tenaga listrik yang bersih dan efisien (teknologi batubara bersih). Diperkirakan bahwa pada awal abad ke-21, PLTU-batubara dengan teknologi gasifikasi akan mengeluarkan 99 % lebih sedikit sulfur dioksida (SO2) dan abu terbang, serta 90 % kurang nitrogen oksida (NOx) dari PLTU-batubara masa kini. PLTU-batubara gasifikasi juga diperkirakan akan menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) dengan 35 – 40 %, menurunkan buangan padat dengan 40 – 50 % dan menghasilkan penghematan biaya daya 10 – 20 %. Teknologi gasifikasi digabung dengan teknologi turbin gas maju akan memegang peran utama dalam pusat-pusat pembangkit gasifikasi terpadu.

Gasifikasi batubara maupun minyak residu sudah terjadi memanfaatkan kayu buangan atau bagas tebu juga menjanjikan. Dengan meningkatnya tuntunan-tuntunan lingkungan, kemungkinan besar teknologi gasifikasi akan menyebabkan batubara akan dapat mempertahankan posisi utamanya sebagai bahan bakar untuk pembangkitan tenaga listrik. Karena memiliki cadangan batubara yang cukup besar, terutama yang berupa lignit, teknologi gasifikasi akan menjadi sangat penting bagi Indonesia di masa mendatang. Di Amerika Serikat telah ada bebarapa proyek demontrasi siklus kombinasi gas terpadu (Integrated Gas Combined Cycle, IGCC), antara lain Wabash River Repowering Project di Indiana dengan daya 262 MWdan Camden Clean Energy Demonstration Project di New Jersey dengan daya 480 MW.

Teknologi pencairan batubara masih banyak terganggu oleh biaya yang tinggi. Negara yang paling maju dalam bidang ini adalah Afrika Selatan. Negara ini memiliki beberapa pabrik yang memproduksi batubara cair. Pabrik pertama adalah “Sasol One” terletak dekat kota Sasolburg, yang sejak pertengah 1950an telah berproduksi. Pabrik kedua, ‘Sasol Two’, terletak di kota Secunde berproduksi sejak tahun 1980, dan pabrik ketiga, ‘Sasol Three’, berproduksi sejak tahun 1982.

Walaupun teknologi pengolahan batubara sebagai bahan bakar primer sudah jauh berkembang dan cadangan nasional batubara cukup tinggi, sayangnya pembangkit listrik ini membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan. Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton CO2 per tahun. CO2 merupakan salah satu gas yang paling menyebabkan global warming atau efek rumah kaca. Bagaimanapun teknologi batubara bersih yang digunakan, Penulis masih menganggap bahwa proses gasifikasi / batubara cair ‘belum’ bisa mengurangi emisi gas karbondioksida dan ‘belum’ bisa meningkatkan efisiensi bahan bakar. Terlalu banyak energi yang dibuang selama proses pengolahan dari batubara ‘mentah’ menjadi batubara cair/gas. Walaupun PLTU dengan teknologi batubara bersih mampu mengurangi 90 % gas buangan dan abu terbangnya pada saat beroperasi, namun polutan selama proses pembuatan batubara cair / gas yang dihasilkan masih cukup tinggi.


4.5 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mengalami beberapa perkembangan yang sangat signifikan, terutama perkembangan di pembuatan desain sedemikian hingga PLTN generasi berikutnya menjadi lebih andal, aman, ekonomis serta lebih mudah untuk dioperasikan. Peningkatan keandalan dan keamanan diperoleh pada penyederhanaan sistem pipa primer, perbaikan pada mekanisme batang kendali dan optimasi dari pendinginan inti dalam keadaan darurat.

Peningkatan kemudahan operasi dan pemeliharaan diupayakan dengan cara perbaikan sistem instrumentasi dan pengendalian, sedangkan penurunan biaya konstruksi dan operasi diharapkan dapat meningkatkan unjuk kerja secara ekonomis. Pengembangan teknologi PLTN juga meliputi penurunan jumlah dari limbah radioaktif yang dihasilkan. Perkembangan terpesat PLTN kini terjadi di RRC, yang diperkirakan akan memiliki 20 GW daya terpasang PLTN pada tahun 2010. PLTN yang banyak terpasang adalah PWR (Pressurized Water Reactor), diperkirakan juga akan berkembang PLTN Candu (Canadian Deuterium Uranium), teknologi dari Kanada.

Cara kerja PLTN jenis PWR dan BWR ditunjukkan pada Gambar 6 : yang berbeda dari PLTN adalah mesin pembangkit uapnya, yaitu berupa reaktor nuklir. Dalam reaktor nuklir, reaksi fisi berantai dipertahankan kontinuitasnya dalam bahan bakar sehingga bahan bakar menjadi panas. Panas ini kemudian ditransfer ke pendingin reaktor yang kemudian secara langsung atau tak langsung digunakan untuk membangkitkan uap. Pembangkitan uap langsung dilakukan dengan membuat pendingin reaktor (biasanya air biasa, H2O) mendidih dan menghasilkan uap. Pada pembangkitan uap tak langsung, pendingin reaktor (disebut pendingin primer) yang menerima panas dari bahan bakar disalurkan melalui pipa ke perangkat pembangkit uap. Pendingin primer ini kemudian memberikan panas (menembus media dinding pipa) ke pendingin sekunder (air biasa) yang berada di luar pipa perangkat pembangkit uap untuk kemudian panas tersebut mendidihkan pendingin sekunder dan membangkitkan uap.

Pada umumnya tipe reaktor nuklir dalam PLTN dibedakan berdasarkan komposisi, konstruksi dari bahan moderator neutron dan bahan pendingin yang digunakan, sehingga digunakan sebutan seperti reaktor gas, reaktor air ringan, reaktor air berat (air ringan (H2O) dan air berat (D2O) ; D adalah salah satu isotop hidrogen, yaitu deuterium 2H1). Selain itu, faktor kondisi air pendingin juga menjadi pertimbangan penggolongan tipe reaktor nuklir dalam PLTN. Jika air pendingin dalam kondisi mendidih disebut reaktor air didih, jika tak mendidih (atau tidak diizinkan mendidih, dengan memberi tekanan secukupnya pada pendingin) disebut reaktor air tekan. Reaktor nuklir dengan temperatur pendingin sangat tinggi (di atas 800o C) disebut reaktor gas temperatur tinggi. Kecepatan neutron rata-rata dalam reaktor yang dihasilkan dari reaksi fisi juga dipakai untuk menggolongkan tipe reaktor. Berdasarkan kecepatan neutron rata-rata dalam teras, ada reaktor cepat dan reaktor termal (neutron dengan kecepatan relatif lambat sering disebut sebagai neutron termal).

Terdapat beberapa tipe Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), yaitu : (i) Reaktor Air Tekan (Pressurized Water Reactor, PWR); (ii) Reaktor Air Tekan Rusia (VVER); (iii) Reaktor Air Didih (Boiling Water Reactor, BWR); (iv) Reaktor Air Berat Pipa Tekan (CANDU); (v) Reaktor Air Berat Pembangkit Uap (Steam Generating Heavy Water Reactor, SGHWR); (vi) Reaktor Pendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR); (vii) Reaktor Gas Maju (Advanced Gas Reactor, AGR); (viii) Reaktor Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas Reactor, HTGR); (ix) Reaktor Moderator Grafit Pendingin Air Didih (RBMK); (x) Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor, FBR).

Reaktor Air Ringan (Light Water Reactor, LWR) : Diantara PLTN yang masih beroperasi di dunia, 80 % adalah PLTN tipe Reaktor Air Ringan (LWR). Reaktor ini pada awalnya dirancang untuk tenaga penggerak kapal selam angkatan laut Amerika. Dengan modifikasi secukupnya dan peningkatan daya seperlunya kemudian digunakan dalam PLTN. PLTN tipe ini dengan daya terbesar yang masih beroperasi pada saat ini (tahun 2003) adalah PLTN Chooz dan Civaux di Perancis yang mempunyai daya 1500 MWe, dari kelas N-4 Perancis. Reaktor Air Ringan dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu Reaktor Air Didih dan Reaktor Air Tekan (pendingin tidak mendidih), kedua golongan ini menggunakan air ringan sebagai bahan pendingin dan moderator. Pada tipe reaktor air ringan sebagai bahan bakar digunakan uranium dengan pengayaan rendah sekitar 2 – 4 % (bukan uranium alam karena sifat air yang menyerap neutron). Kemampuan air dalam memoderasi neutron (menurunkan kecepatan / energi neutron) sangat baik, maka jika digunakan dalam reaktor (sebagai moderator neutron dan pendingin) ukuran teras reaktor menjadi lebih kecil (kompak) bila dibandingkan dengan reaktor nuklir tipe reaktor gas dan reaktor air berat.

Reaktor Air Tekan (Pressurized Water Reactor, PWR) : Pada PLTN tipe PWR, air sistem pendingin primer masuk ke dalam bejana tekan reaktor pada tekanan tinggi dan temperatur lebih kurang 290o C. Air bertekanan dan bertemperatur tinggi ini bergerak pada sela-sela batang bahan bakar dalam perangkat bahan bakar ke arah atas teras sambil mengambil panas dari batang bahan bakar, sehingga temperaturnya naik menjadi sekitar 320o C. Air pendingin primer ini kemudian disalurkan ke perangkat pembangkit uap (lewat sisi dalam pipa pada perangkat pembangkit uap), di perangkat ini air pendingin primer memberikan energi panasnya ke air pendingin sekunder (yang ada di sisi luar pipa pembangkit uap) sehingga temperaturnya naik sampai titik didih dan terjadi penguapan. Uap yang dihasilkan dari penguapan air pendingin sekunder tersebut kemudian dikirim ke turbin untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator listrik. Perputaran generator listrik akan menghasilkan energi listrik yang disalurkan ke jaringan listrik. Air pendingin primer yang ada dalam bejana reaktor dengan temperatur 320o C akan mendidih jika berada pada tekanan udara biasa (sekitar 1 atm). Agar pendingin primer ini tidak mendidih, maka sistem pendingin primer diberi tekanan hingga 157 atm. Karena adanya pemberian tekanan ini maka bejana reaktor sering disebut sebagai bejana tekan atau bejana tekan reaktor. Pada reaktor tipe PWR, air pendingin primer yang membawa unsur-unsur radioaktif dialirkan hanya sampai ke pembangkit uap, tidak sampai turbin, oleh karena itu pemeriksaan dan perawatan sistem sekunder (komponen sistem sekunder: turbin, kondenser, pipa penyalur, pompa sekunder dan lain-lain) menjadi mudah dilakukan. Konstruksi bejana reaktor tipe PWR ditunjukkan pada Gambar 6.

Pada prinsipnya PWR yang dikembangkan oleh Rusia (disebut VVER) sama dengan PWR yang dikembangkan oleh negara-negara barat. Perbedaan konstruksi terdapat pada bentuk penampang perangkat bahan bakar VVER (berbentuk segi enam) dan letak pembangkit uap VVER (horisontal). Pada reaktor tipe PWR, seperti yang banyak beroperasi saat ini, peralatan sistem primer saling dihubungkan membentuk suatu untai (loop). Jika peralatan sistem primer dihubungkan oleh dua pipa penghubung utama yang diperpendekdan kemudian dimasukkan dalam bejana reaktor maka sistem seperti ini disebut reaktor setengah terintegrasi (setengah modular). Tetapi jika seluruh sistem primer disatukan dan dimasukkan ke dalam bejana reaktor maka disebut reaktor terintegrasi (modular), lihat. Reaktor setengah modular ataupun modular tidak dikembangkan untuk PLTN berdaya besar.

Reaktor Air Didih (Boiling Water Reactor, BWR) : Karakteristika unik dari reaktor air didih adalah uap dibangkitkan langsung dalam bejana reaktor dan kemudian disalurkan ke turbin pembangkit listrik. Pendingin dalam bejana reactor berada pada temperatur sekitar 285o C dan tekanan jenuhnya sekitar 70 atm. Reaktor ini tidak memiliki perangkat pembangkit uap tersendiri, karena uap dibangkitkan di bejana reaktor. Karena itu pada bagian atas bejana reaktor terpasang perangkat pemisah dan pengering uap, akibatnya konstruksi bejana reaktor menjadi lebih rumit. Konstruksi reaktor BWR diperlihatkan pada Gambar 6.

Reaktor Air Berat (Heavy Water Reactor, HWR) : Dalam hal kemampuan memoderasi neutron, air berat berada pada urutan berikutnya setelah air ringan, tetapi air berat hampir tidak menyerap neutron. Oleh karena itu jika air berat dipakai sebagai moderator, maka dengan hanya menggunakan uranium alam (tanpa pengayaan) reaktor dapat beroperasi dengan baik. Bejana reaktor (disebut kalandria) merupakan tangki besar yang berisi air berat, di dalamnya terdapat pipa kalandria yang berisi perangkat bahan bakar. Tekanan air berat biasanya berkisar pada tekanan satu atmosferdan temperaturnya dijaga agar tetap di bawah 100o C. Akan tetapi pendingin dalam pipa kalandria mempunyai tekanan dan temperatur yang tinggi, sehingga konstruksi pipa kalandria berwujud pipa tekan yang tahan terhadap tekanan dan temperatur yang tinggi.

Reaktor Air Berat Tekan (Pressurized Heavy Water Reactor, PHWR) : CANadian Deuterium Uranium Reactor (CANDU) adalah suatu PLTN yang tergolong pada tipe reaktor pendingin air berat tekan dengan pipa tekan. Reaktor ini merupakan reaktor air berat yang banyak digunakan. Bahan bakar yang digunakan adalah uranium alam. Kanada menjadi pelopor penyebaran reaktor tipe ini di seluruh dunia.

Reaktor Air Berat Pendingin Gas (Heavy Water Gas Cooled Reactor, HWGCR) : HWGCR atau sering dibalik GCHWR adalah suatu tipe reaktor nuklir yang menggunakan air berat sebagai bahan moderatornya, sehingga pemanfaatan neutronnya optimal. Gas pendingin dinaikkan temperaturnya sampai pada tingkat yang cukup tinggi sehingga efisiensi termal reaktor ini dapat ditingkatkan. Tetapi oleh karena persoalan pengembangan bahan kelongsong yang tahan terhadap temperatur tinggi dan paparan radiasi lama belum terpecahkan hingga sekarang, maka pada akhirnya di dunia hanya terdapat 4 reaktor tipe ini. Di negara Perancis reaktor tipe ini dibangun, tetapi sebagai bahan kelongsong tidak digunakan berilium melainkan stainless steel.

Reaktor Air Berat Pembangkit Uap (Steam Generated Heavy Water Reactor, SGHWR) : Reaktor ini sering disebut Light Water Cooled Heavy Water Reactor (LWCHWR) dan hanya ada di Pusat Penelitian Winfrith Inggris. Reaktor berdaya 100 MWe ini merupakan prototipe reaktor pembangkit daya tipe SGHWR dan beroperasi dari tahun 1968 sampai tahun 1990. Pada waktu itu reaktor SGHWR sempat menjadi suatu fokus pengembangan di Inggris, tetapi oleh karena persoalan ekonomi maka tidak dikembangkan lebih lanjut. Sementara itu Jepang mengembangkan reaktor air berat yang disebut Advanced Thermal Reactor (ATR). Jepang membangun reaktor ATR Fugen berdaya 165 MWe. Keunikan dari reaktor ATR ini adalah, bahan bakar dapat terbuat dari uranium dengan pengayaan rendah atau uranium alam yang diperkaya dengan plutonium. Pada saat bahan bakar terbakar, penyusutan plutonium di bahan bakar sedikit sekali. Reaktor prototipe Fugen dioperasikan sejak tahun 1979, tetapi karena terjadi perubahan kebijakan dari pemerintah, sampai saat ini reaktor ATR komersial belum pernah terwujud. Reaktor Fugen beroperasi hingga tahun 2002 dan pada tahun berikutnya direncanakan untuk didekomisioning.

Reaktor Grafit Pendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR) : Grafit sebagai bahan moderator sudah digunakan oleh ilmuwan Enrico Fermi sejak reaktor nuklir pertama Chicago Pile No.1 (CP 1). Grafit terkenal murah dan dapat diperoleh dalam jumlah besar. Plutonium (Pu-239) yang digunakan pada bom atom yang dijatuhkan pada saat Perang Dunia II dibuat di reaktor grafit. Setelah perang dunia berakhir reaktor GCR adalah salah satu tipe reaktor yang didesain-ulang di Inggris maupun Perancis. Reaktor ini menggunakan bahan bakar logam uranium alam, moderator grafit pendingin gas karbondioksida. Bahan kelongsong terbuat dari paduan magnesium (Magnox), oleh karena itu reaktor ini disebut sebagai reaktor Magnox. Reaktor Magnox mempunyai pembangkitan daya listrik cukup besar dan efisiensi ekonomi yang baik. Raktor tipe modifikasi Magnox pernah dibangun di Jepang pada tahun 1967 sebagai PLTN Tokai. Setelah beroperasi selama 30 tahun reaktor ini ditutup pada tahun 1998.

Reaktor Grafit Pendingin Gas Maju (Advanced Gas-cooled Reactor, AGR) : Di Inggris fokus pengembangan teknologi PLTN bergeser ke reaktor berbahan bakar uranium dengan pengayaan rendah, yang memiliki kerapatan daya dan efisiensi termal yang tinggi. Unjuk kerja reaktor ini terbukti dapat diperbaiki. Di Inggris reaktor ini hanya sempat dibangun sebanyak 14 buah saja, karena setelah pertengahan tahun 1980 kebijakan Pemerintah Inggris berubah.

Reaktor Grafit Pendingin Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas-cooled Reactor, HTGR) : Reaktor ini menggunakan gas helium sebagai pendingin. Karakteristika menonjol yang unik dari reaktor HTGR ini adalah konstruksi teras didominasi bahan moderator grafit, temperature operasi dapat ditingkatkan menjadi tinggi dan efisiensi pembangkitan listrik dapat mencapai lebih dari 40 %. Terdapat 3 bentuk bahan bakar dari HTGR, yaitu dapat berupa: (a) Bentuk batang seperti reaktor air ringan (dipakai di reaktor Dragon dan Peach Bottom); (b) Bentuk blok, di mana di dalam lubang blok grafit yang berbentuk segi enam di masukkan batang bahan bakar (dipakai di reaktor Fort St. Vrain, MHTGR, HTTR); (c) Bentuk bola (peble bed), di mana butir bahan bakar bersalut didistribusikan dalam bola grafit (dipakai di reaktor AVR, THTR-300).

Reaktor Grafit Pipa Tekan Air Didih Moderator Grafit (Light Water Gas-cooled Reactor, LWGR) RBMK adalah reaktor tipe ini yang hanya dikembangkan di Rusia. Reaktor ini tidak menggunakan tangki kalandria (berisi air berat) seperti reaktor tipe SGHWR tetapi menggunakan grafit sebagai moderator, oleh karena itu dimensi reaktor menjadi besar. Sekitar 1700 buah pipa tekan menembus susunan blok grafit. Di dalam pipa tekan diisi batang bahan bakar di mana di sekelilingnya mengalir air ringan yang mengambil panas dari batang bahan bakar sehingga mendidih. Uap yang terbentuk dikirim ke turbin pembangkit listrik untuk memutar turbin dan membangkitkan listrik. Salah satu reaktor tipe ini yang terkenal karena mengalami kecelakaan adalah reaktor Chernobyl No.4 yang merupakan reaktor tipe RBMK-1000. Salah satu kegagalan desain pada reaktor tipe RBMK yang dianggap sebagai kambing hitam terjadinya kecelakaan Chernobyl adalah tidak tersedianya bejana pengungkung reaktor.

Reaktor Cepat (Fast Reactor, FR), Reaktor Pembiak Cepat (Liquid Metal Fast Breeder Reactor, LMFBR) : Seperti tersirat dalam nama tipe reaktor ini, neutron cepat yang dihasilkan dari reaksi fisi dengan kecepatan tinggi dikondisikan sedemikian rupa sehingga diserap oleh uranium-238 menghasilkan plutonium-239. Dengan kata lain di dalam reaktor dapat dibiakkan (dibuat) unsur plutonium. Rapat daya dalam teras reaktor cepat sangat tinggi, oleh karena itu sebagai pendingin biasanya digunakan bahan logam natrium cair atau logam cair campuran natrium dan kalium (NaK) yang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengambil panas dari bahan bakar. Konstruksi reaktor pembiak cepat terdiri dari pendingin primer yang berupa bahan logam cair mengambil panas dari bahan bakar dan kemudian mengalir ke alat penukar panas-antara (intermediate heat exchanger), selanjutnya energi panas ditransfer ke pendingin sekunder dalam alat penukar panas-antara ini. Kemudian pendingin sekunder (bahan pendingin adalah natrium cair atau logam cair natrium) yang tidak mengandung bahan radioaktif akan mengalir membawa panas yang diterima dari pendingin primer menuju ke perangkat pembangkit uapdan memberikan panas ke pendingin tersier (air ringan) sehingga temperaturnya meningkat dan mendidih (proses pembangkitan uap). Uap yang dihasilkan selanjutnya dialirkan ke turbin untuk memutar generator listrik yang dikopel dengan turbin. Komponen sistem primer dari reaktor pembiak cepat terdiri dari bejana reaktor, pompa sirkulasi primer, alat penukar panas-antara. Komponen ini dirangkai oleh pipa penyalur pendingin membentuk suatu untai (loop), karena itu reaktor seperti ini digolongkan dalam kelas reaktor untai. Apabila seluruh komponen sistem primer di atas semuanya dimasukkan ke dalam bejana reaktor, maka reaktor pembiak cepat seperti ini digolongkan dalam kelas reaktor tangki atau reaktor kolam. Contoh reaktor pembiak cepat tipe reaktor untai adalah reaktor prototipe Monju di Jepang, sedangkan untuk tipe reaktor kolam adalah reaktor Super Phenix di Perancis yang sudah menjadi reaktor komersial. Reaktor Cepat Eropa (Europian Fast Reactor, EFR) yang secara intensif dikembangkan oleh negara-negara Eropa diharapkan akan mulai masuk pasar komersial pada tahun 2010.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir selalu menggelitik para pendengar, pembaca atau pemirsa di media koran, televisi atau media lainnya. PLTN akan selalu memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat awam terhadap teknologi tersebut, maupun di golongan ilmuwan yang mengerti secara umum terhadap perkembangan teknologi PLTN. Dalam pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir, jaminan terhadap keselamatan menjadi hal yang penting untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Untuk meningkatkan pemahaman dan kepercayaan masyarakat, perlu diberikan penjelasan tentang tata cara atau prosedur yang aman dalam pengoperasian suatu instalasi nuklir, sehingga akan terjadi saling pengertian antara masyarakat dengan pihak operator instalasi. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pembangkit tipe base (beban dasar) berbahan bakar fosil di masa yang akan datang.



Tabel 1. Komposisi pendingin dan moderator reaktor pada suatu reaktor prototipe



4.6 Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
Dalam 10 tahun terakhir ini, kebutuhan dunia akan sumber energi terbarukan meningkat dengan laju hampir 25% per tahun. Peningkatan ini didorong oleh: (i) naiknya kebutuhan energi listrik; (ii) naiknya keinginan untuk menggunakan teknologi yang bersih; (iii) terus naiknya harga bahan bakar fossil; (iv) naiknya biaya pembangunan saluran transmisi dan (v) naiknya untuk meningkatkan jaminan pasokan energi. Agar peran energi terbarukan bisa meningkat dengan cepat maka harga dan keandalan sistem pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus bisa bersaing dengan pembangkit konvensional.
4.6.1 Tenaga Air
Yunani tercatat sebagai negara pertama yang memanfaatkan tenaga air untuk memenuhi kebutuhan energi listriknya. Pada akhir tahun 1999, tenaga air yang sudah berhasil dimanfaatkan di dunia adalah sebesar 2650 TWh, atau sebesar 19 % energi listrik yang terpasang di dunia. Kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam teknologi komputer dan komunikasi merupakan daya dorong utama untuk perkembangan otomatisasi pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sumber energi yang mengandalkan debit air dan ketinggian jatuhnya air ini diharapkan bisa menjawab ketersediaan energi terutama di daerah yang hingga kini belum teraliri oleh perusahaan listrik negara.

Indonesia mempunyai potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 70.000 mega watt (MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen atau 3.529 MW atau 14,2 % dari jumlah energi pembangkitan PT PLN. Berdasarkan konstruksinya, ada dua cara pemanfaatan tenaga air untuk pembangkit listrik: (i) membangun bendungan dan membuat reservoir untuk mengalirkan air ke turbin; (ii) memanfaatkan aliran air sungai tanpa membangun bendungan dan reservoir atau yang sering disebut dengan Run-of-river Hydropower. Seperti terlihat pada Gambar 8.


Secara umum cara kerja pembangkit listrik tenaga air adalah dengan mengambil air dalam jumlah debit tertentu dari sumber air (sungai, danau, atau waduk) melalui intake, kemudian dengan menggunakan pipa pembawa (headrace) air diarahkan menuju turbin. Namun sebelum menabrak turbin, air dilewatkan ke pipa pesat (penstock) tujuannya adalah meningkatkan energi dalam air dengan memanfaatkan gravitasi. Selain itu pipa pesat juga mempertahankan tekanan air jatuh, oleh karena itu pipa pesat tidak boleh bocor. Turbin yang tertabrak air akan memutar generator dalam kecepatan tertentu, sehingga terjadilah proses konversi energi dari gerak ke listrik. Sementara air yang tadi digunakan untuk memutar turbin dikembalikan ke alirannya.

Besarnya energi yang dapat dikonversi menjadi energi listrik bergantung pada ketinggian jatuh air (Head) dan begitu pula pemilihan turbin untuk PLTA. Pada Tabel 2 menjelaskan tentang panduan umum penggunaan berbagai macam turbin untuk berbagai macam ketinggian jatuh air. Gambar 9 memperlihatkan bentuk-bentuk dari turbin air.



Keunggulan Pembangkit Listrik Tenaga Air umumnya terlihat jelas dari sisi ekonomidan lingkungan. Secara ekonomis, walaupun memerlukan bendungan, ternyata PLTA memiliki ongkos produksi yang relatif rendah. Selain itu PLTA pun umumnya memiliki umur yang panjang, yaitu 50-100 tahun. Bendungan yang digunakan pun biasanya dapat sekaligus digunakan untuk kegiatan lain, seperti irigasi atau sebagai cadangan air dan pariwisata. Sedangkan dari segi lingkungan berkurangnya emisi karbon akibat digunakannya sumber energi bersih seperti air, jelas merupakan kontribusi berharga bagi lingkungan.

Namun ada juga efek negatif pada lingkungan akibat dibangunnya PLTA, yaitu mengganggu keseimbangan ekosistem sungai atau danau tempat dibangunnya bendungan untuk PLTA. Selain itu pembangunan bendungan juga memakan biaya waktu yang lama. Terkadang, walaupun sangat jarang, kerusakan pada bendungan dapat menyebabkan resiko kerugian yang sangat besar.

Belakangan semakin marak digunakannya mikrohidro, pembangkit listrik tenaga air skala kecil (dibawah 100 kW), sebagai sumber pasokan listrik di desa-desa kecil dan terpencil. PLTA mikrohidro semakin dipilih mengingat banyaknya sungai kecil yang ada di Indonesia. Potensi mikrohidro di Indonesia ada 458,75 MW dan baru terpasang 84 MW. Selain itu teknologinya yang mudah pun menjadi suatu nilai tambah bagi penduduk desa dalam memanfaatkan aliran sungai sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik.

4.6.2 Tenaga Surya
Di antara sumber energi alternatif yang saat ini banyak dikembangkan seperti turbin angin, tenaga air (hydro power) dan lain-lain, tenaga surya atau solar sel merupakan salah satu sumber yang cukup menjanjikan di Indonesia. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 % dari total energi pancaran matahari. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1 persen saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10 % sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Pada tengah hari yang cerah radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 Watt/m2. Jika sebuah divais semikonductor seluas 1 m2 memiliki efisiensi 10 % maka modul solar sel ini mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 Watt. Saat ini efisiensi modul solar sel komersial berkisar antara 5 – 15 % tergantung material penyusunnya.
Karena fleksibel, sel surya yang dihasilkan bisa dibentuk seperti genting, jendela, atau bentuk bagian bangunan lainnya. Hambatan utama dari penerapan teknologi ini adalah mahalnya teknologi peralatan yang dipakai untuk memproduksinya. Teknologi terbaru yang masih dalam tahap pengembangan adalah sel surya berbasis bahan organik. Teknologi yang digunakan berbeda jauh dengan teknologi sel surya konvensional. Jika teknologi manufaktur yang murah bisa diciptakan maka sel surya organik semacam ini bisa jauh lebih murah dibanding sel surya konvensional.
Masalah utama penggunaan energi surya untuk PLTS adalah ketersediannya. Energi matahari hanya tersedia di siang hari. Oleh sebab itu, PLTS harus bekerjasama dengan pembangkit lain untuk meningkatkan keandalannya. Untuk itu, tegangan DC yang dihasilkan oleh modul fotovoltaik harus diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter. Tegangan bolak-balik yang dihasilkan inverter harus mempunyai bentuk dan frekuensi yang baik agar bisa diparalelkan dengan jaringan listrik yang ada.
Gambar 10 memperlihatkan skema pembangkit listrik tenaga surya skala kecil yang dipakai untuk skala rumah tangga. Tegangan DC yang dihasilkan sel surya diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter. Inverter diparalel dengan tegangan jala-jala (misal PLN). Sebagian energi listrik yang dihasilkan sel surya akan dikonsumsi sendiri. Jika berlebih, energi listrik yang dihasilkan bisa dijual ke jaringan PLN. Pembangkit listrik semacam ini tidak memerlukan batere sebagai penyimpan energi.


PLTS tidak hanya berguna bagi rakyat Indonesia yang tinggal di daerah kepulauan untuk meningkatkan kemandirian di bidang energi tetapi juga berguna bagi penduduk pulau Jawa yang ingin mengurangi beban PLN atau mengurangi emisi CO2. Di banding pembangkit batu bara, PLTS mempunyai peluang mengurangi lebih dari 1 kg CO2 untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkannya. Pemasangan PLTS bisa digunakan untuk meningkatkan image perusahaan dalam memperoleh sertifikat ramah lingkungan. Di banyak negara maju, memiliki sertifikat ramah lingkungan terbukti sangat berguna dalam menarik investor dan menaikkan harga saham.
Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana memasang PLTS sampai 1000 MW. Jika melihat kebutuhan akan PLTS dunia, maka peluang bisnis PLTS sangat-sangat besar. Sayangnya, hanya sedikit orang Indonesia yang menguasai teknologi ini. Tidak ada industri di Indonesia yang memproduksi sel surya, biasanya baru terbatas merakitnya. Seperti halnya pembangkit listrik energi terbarukan lainnya, hanya sedikit orang atau industri di Indonesia yang menguasai teknologi elektronika daya yang diperlukan dalam PLTS.
Terus naiknya pasar pembangkit listrik berbasis PLTS harus digunakan sebagai momentum untuk mempersiapkan diri sehingga rakyat Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dan penonton. Persiapan ini harus mencakup persiapan sumber daya manusia, industri, dan peraturannya. Hambatan subsidi yang menyebabkan penerapan penerapan PLTS kurang ekonomis harus secara bertahap diatasi.
4.6.3 Tenaga Angin
Pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam 20 tahun terakhir ini, terutama di belahan Eropa utara. Jerman dan Denmark telah menggunakan tenaga angin untuk membangkitkan hampir 20% kebutuhan energi listriknya. Pada akhir tahun 2010, diperkirakan PLTB terpasang di dunia akan mencapai lebih dari 150 GW.
Sebagai negara yang berada di ekuator, potensi dari PLTB memang tidak terlalu besar. Akan tetapi berdasarkan data yang ada, ada beberapa daerah di Indonesia, misal NTB dan NTT, yang mempunyai potensi bagus. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kecepatan angin rata-rata sekitar 4 m/s, kecuali di dua propinsi tersebut. Oleh sebab itu, PLTB yang cocok dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 kW. Tentu saja ini berbeda dengan Eropa yang berkonsentrasi untuk mengembangkan PLTB dengan kapasitas di atas 1 MW atau lebih besar lagi untuk dibangung di lepas pantai.
Masalah utama dari penggunaan PLTB adalah ketersediaannya yang rendah. Untuk mengatasi masalah ini maka PLTB harus dioperasikan secara paralel dengan pembangkit listrik lainnya. Pembangkit listrik lainnya bisa berbasis Sumber Energi Alternatif (SEA) atau pembangkit konvensional. Walaupun sebuah PLTB hanya membangkitkan daya kurang dari 100 kW, kita bisa membangun puluhan PLTB dalam satu daerah. Dengan memanfaatkan PLTB maka kebutuhan akan bahan bakar fossil akan jauh berkurang. Selain mengurangi biaya operasi, penggunaan PLTB akan meningkatkan jaminan pasokan energi suatu daerah. Di daerah kepulauan seperti halnya NTB dan NTT, yang mana semua kebutuhan energinya harus didatangkan dari daerah lain, keberadaan PLTB akan membantu meningkatkan kemandiriannya. Di banding dengan diesel, PLTB mempunyai potensi mengurangi emisi CO2 sebesar 700 gram untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkan.
Gambar 10 memperlihatkan skema PLTB yang cocok untuk daya kurang dari 100 kW. Turbin angin memutar generator tegangan bolak-balik. Karena kecepatan angin berubah-ubah maka tegangan AC yang dihasilkan generator mempunyai frekuensi yang berubah-ubah. Tegangan AC yang frekuensinya berubah-ubah ini harus diubah menjadi tegangan DC yang tetap dengan menggunakan penyearah. Tegangan DC ini selanjutnya diubah menjadi tegangan AC frekuensi 50 Hz dengan menggunakan inverter. Keluaran inverter diparalel dengan jaringan listrik yang ada. Dengan menggunakan konsep ini, semua energi listrik yang dibangkitkan oleh PLTB bisa dikirim ke jaringan untuk dimanfaatkan. Pembangkit semacam ini juga tidak memerlukan batere yang mahal dan butuh pemeliharaan rutin.
Teknologi turbin atau kincir angin yang diperlukan dalam PLTB telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri lokal telah mampu membuatnya dengan baik. Generator yang digunakan bisa menggunakan generator induksi (yang murah dan kokoh) atau generator magnet permanen yang efisien. Kedua teknologi generator ini telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri telah mampu membuatnya. Yang menjadi masalah adalah bahan baku yang sebagian besar harus didatangkan dari luar. Teknologi penyearah dan inverter juga dikuasai oleh orang Indonesia walaupun industri yang mampu membuatnya masih terbatas. Di Indonesia juga tidak tersedia orang yang menguasai teknologi komponen elektronika daya, apalagi industrinya. Semua komponen elektronika daya harus didatangkan dari luar. Di Indonesia, peneliti yang mendalami teknologi elektronika daya juga sangat terbatas. Perkembangan kebutuhan akan pembangkit listrik berbasis SEA ini sebaiknya diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri elektronika daya berserta sumber daya manusianya.



4.7 Biomassa
Bioenergi adalah istilah umum bagi energi yang dihasilkan melalui material organik, seperti kayu, tanaman pertanian, sekam, sampah, atau kotoran hewan. Berdasarkan sumbernya, bioenergi dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu yang dari hasil pertanian dan budidaya, dan yang dari limbah buangan, seperti buangan tanaman sisa panen, kotoran hewan, sampah kota, limbah pabrik, dsb.
Banyak yang menyangsikan kalau bioenergi adalah salah satu solusi energi terbarukan, terutama untuk bioenergi yang bersumber dari hasil pertanian dan budidaya. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan yang sangat besar dan waktu produksi yang terlalu lama. Terlebih lagi ternyata selisih antara energi keluaran dan energi fosil yang terpakai selama proses tidak terlalu signifikan. Selain itu walaupun ditujukan untuk mengurangi polusi CO2, produksi bioenergi bukan berarti tanpa CO2, walaupun memang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada CO2 yang dihasilkan dari produksi energi fosil. Sehingga tantangan kedepan agar bioenergi dapat bersaing dengan sumber energi lainnya adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dari teknologi prosesnya dan bagaimana mempercepat produksi sumber energinya.
Pengolahan biomassa menjadi bioenergi dapat dilakukan dalam tiga cara : (i) pembakaran biomassa padat (ii) produksi bahan bakar gas dari biomassa (iii) produksi bahan bakar cair dari biomassa.
Cara yang pertama adalah dengan membakar langsung biomassa dan diambil energi panasnya. Energi panas ini dapat digunakan untuk apa saja, bisa sebagai pemanas ruangan, ventilasi, atau jika dalam terminologi kelistrikan, energi panas ini kemudian digunakan untuk memanaskan dan menguapkan air pada aplikasi turbin uap. Biomassa yang digunakan bisa apa saja, namun umumnya adalah sisa produk hutan dan pertanian, arang, atau sampah kota (pada PLTSa).
Pengolahan biomassa dengan cara ini umumnya sudah ditinggalkan (kecuali pada PLTSa), karena walaupun teknologinya sederhana namun efisiensinya sangat rendah. Selain itu biomassa padat memiliki kerapatan energi yang relatif kecil, sehingga proses transportasinya memakan biaya yang besar.
Khusus untuk biomassa sampah kota, PLTSa dapat menjadi solusi yang menarik untuk dikembangkan, mengingat produksi sampah kota terus meningkat dari tahun ke tahun. PLTSa di dunia kini sudah mencapai lebih dari 3 GW dengan setengahnya berada di eropa. Di Indonesia sendiri PLTSa masih menjadi solusi yang sulit untuk diterapkan. Penolakan terhadap PLTSa umumnya disebabkan kekhawatiran masyarakat akan pencemaran lingkungan, terutama pencemaran udara. Namun tidak perlu khawatir karena teknologi PLTSa yang berkembang saat ini sudah dilengkapi dengan sistem pengeringan dan filter abu. Sistem ini berfungsi untuk mengurangi unsur-unsur kimia berbahaya yang terkandung pada abu gas buangan, sehingga gas buangan PLTSa masih dalam taraf aman.

Cara yang kedua adalah produksi biomassa dalam bentuk gas. Ada beberapa alasan dibalik berkembangnya teknologi ini. Hasil yang didapatkan melalui produk biogas ini selain dapat dimanfaatkan untuk pembakaran biasa / pemanasan, ternyata bisa juga digunakan sebagai bahan bakar pada mesin bakar dan turbin gas. Produk biogas juga menawarkan efisiensi yang lebih tinggi dari pembakaran biomassa padat, selain itu karena dalam bentuk gas, penyalurannya relatif lebih mudah (bisa dengan menggunakan pipa).
Konversi kedalam bentuk gas dapat dilakukan melalui proses biokimia dan termokimia. Untuk proses biokimia, digunakan anaerob yang kemudian akan memecah materi organik kedalam senyawa gula, dan kemudian menjadi zat asam, dan akhirnya menjadi gas. Pada tahun 1999, Inggris telah memiliki 1-MW-anaerobic-disgestion-plant. Sementara di Cina ada 5 juta pembangkit anaerob skala kecil pada pertengahan 1990 dan di India ada 2.8 juta yang sudah terpasang sejak 1998 dan akan membangun lagi 12 juta pembangkit anaerob skala kecil. Untuk proses termokimia, gasifikasi dilakukan dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan proses gasifikasi batu bara, hanya saja yang menjadi objeknya adalah biomassa. Produksi gasifikasi dalam kondisi tertentu dapat menghasilkan gas sintesis, kombinasi antara hidrokarbon dan hidrogen. Dari gas sintesis ini hampir seluruh hidrokarbon, bensin sintesis dan bahkan hidrogen murni dapat dibentuk (yang nantinya dapat digunakan pada fuel cell). Tantangan dari biogas ini adalah proses pembuatannya yang rumit, dan di negara berkembang seperti indonesia ini masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk investasi awalnya.
Cara yang ketiga adalah dengan memproduksi biofuel cair dari biomassa. Fokus terbesar pengembangan bioenergi terletak pada biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak. Ada tiga macam olahan biofuel yang dapat mereduksi penggunaan bahan bakar minyak, yaitu (i) bio-ethanol (ii) bio-diesel (iii) bio-oil.
Bio-ethanol didapatkan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi ini membutuhkan produk gula, sehingga sumber paling efektif untuk digunakan dalam produksi bio-etanol ini adalah tebu. Brazil adalah negara terbesar penghasil ethanol dari residu gula. Kegunaan dari bio-ethanol adalah dapat mereduksi penggunaan bensin, yaitu dengan mencampurkan bio-ethanol kedalam bensin (premium). Salah satu produknya yang sudah banyak dikenal adalah Gasohol E-10, didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-ethanol dengan 90% premium. Seiring dengan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin campuran Bio-ethanol di kemudian hari akan semakin besar persentasenya.
Bio-diesel didapatkan melalui transesterifikasi minyak sayur (diekstrak dari biji-bijian seperti jarak, kelapa sawit, dsb). Sebenarnya minyak sayur dapat digunakan langsung pada mesin diesel, hal senada diungkapkan oleh Dr Rudolf Diesel pada tahun 1911 dalam tulisannya, hal ini disebabkan minyak sayur memiliki kandungan energi yang tidak jauh berbeda (37-39 Gj/t) dengan solar (42 Gj/t). Namun bio-diesel lebih dipilih karena minyak sayur memiliki pembakaran yang tidak sempurna jika dioperasikan langsung pada mesin diesel. Kegunaan dari bio-diesel adalah dapat mereduksi penggunaan solar, yaitu dengan mencampurkan bio-diesel kedalam solar. Salah satu produknya yang sudah banyak dikenal adalah Biodiesel B-10, didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-diesel dengan 90% solar. Di beberapa negara iklim tropis seperti filipina dan Brazil, campuran 70% solar dengan 30% minyak sayur tanpa transesterifikasi dilakukan untuk menggantikan diesel. Namun, biasanya sektor pangan dan kosmetik mau membayar lebih mahal, sehingga hal tersebut hanya dilakukan pada daerah tertentu yang kekurangan supply solar. Produksi biodiesel dunia kini mencapai lebih dari 1.5 juta ton per tahunnya. Dan kini pemerintah USA serta Inggris sedang mengembangkan teknologi biodiesel dari minyak jelantah.
Bio-oil didapatkan melalui proses pyrolisis dari sekam, tempurung kelapa, jarak atau kelapa sawit. Proses ini melibatkan penguapan material biomassa sehingga terbagi menjadi uap dan padatan residu. Kemudian uapnya diembunkan sehingga dihasilkan cairan bio-oil yang membawa kandungan energi cukup besar. Bio-oil digunakan sebagai pengganti solar industri (IDO), Marine Fuel Oil (MFO), dan kerosin. Bio-oil dapat digunakan pada pembangkit listrik diesel

4.8 Tenaga Panas Bumi (Geothermal)
Sebelum abad 20, fluida panas bumi (geothermal) hanya digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak. Dewasa ini pemanfaatan fluida panas bumi sangat beraneka ragam, baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan lainnya di sektor non-listrik, yaitu untuk pemanas ruangan, rumah kaca, tanah pertanian, pengering hasil pertanian dan peternakan, pengering kayu dll.

Pemanfaatan energi panas bumi secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pemanfaatan tidak langsung dan pemanfaatan langsung. Pemanfaatan tidak langsung yaitu memanfaatkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik. Sedangkan pemanfaatan langsung yaitu memanfaatkan secara langsung panas yang terkandung pada fluida panas bumi untuk berbagai keperluan.

Fluida panas bumi yang telah dikeluarkan ke permukaan bumi mengandung energi panas yang akan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Hal ini dimungkinkan oleh suatu sistem konversi energi fluida panas bumi (geothermal power cycle) yang mengubah energi panas dari fluida menjadi energi listrik.

Fluida panas bumi bertemperatur tinggi (>225 oC) telah lama digunakan di beberapa negara untuk pembangkit listrik, namun beberapa tahun terakhir ini perkembangan teknologi telah memungkinkan digunakannya fluida panas bumi bertemperatur sedang (150-225 oC) untuk pembangkit listrik.

Selain temperatur, faktor-faktor lain yang biasanya dipertimbangkan dalam memutuskan apakah suatu sumber daya panas bumi tepat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik adalah sebagai berikut: (i) Sumberdaya mempunyai kandungan panas atau cadangan yang besar sehingga mampu memproduksi uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 25-30 tahun. (ii) Sumber daya panas bumi menghasilkan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar laju korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi. Selain itu hendaknya kecenderungan fluida membentuk skala yang relatif rendah. (iii) Reservoirnya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km. (iv) Sumber daya panas bumi terdapat di daerah yang relatif tidak sulit dicapai. (v) Sumber daya panas bumi terletak di daerah dengan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal yang relatif rendah. Proses produksi fluida panas bumi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal.

Energi panas bumi yang relatif tidak menimbulkan polusi dan terdapat menyebar di seluruh kepulauan Indonesia (kecuali Kalimantan) sesungguhnya merupakan salah satu energi yang tepat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik di masa yang akan datang untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan listrik nasional yang cenderung terus meningkat.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) pada prinsipnya sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hanya pada PLTU uap dibuat di permukaan menggunakan boiler, sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panas bumi. Apabila fluida di kepala sumur berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke turbin, dan kemudian turbin akan mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik. Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala sumur sebagai campuran fluida dua fasa (fasa uap dan fasa cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal ini dimungkinkan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap akan terpisahkan dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah yang kemudian dialirkan ke turbin.

Untuk kandungan panas atau cadangan yang relatif kecil, namun mempunyai suhu yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik, bisa digunakan untuk pembangkit listrik berskala kecil dengan kapasitas terpasang antara 1-5 MW. Di beberapa tempat pembangkit dibangun dengan kapasitas kecil, seperti di Fang Thailand yang berkapasitas 300 kW.

Pada dasarnya pembangkit tenaga panas bumi dapat di bangun mengikuti permintaan beban listrik. Pembangkit tenaga kecil biasanya dibangun menggunakan pendekatan modular yang dapat mengurangi biaya konstruksi dan dapat ditempatkan dekat ke sumur sehingga keseluruhan proyek mempunyai dampak lingkungan yang minimal. Pembangkit tenaga kecil telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dan penggunaan tenaga panas bumi. Kunci sukses pembangkit tenaga panas bumi skala kecil adalah tidak membangun pembangkit yang kapasitasnya melebihi permintaan, dan selalu mencari kemungkinan penyatuan sistem pemanfaatan langsung air panas untuk memperbaiki perekonomian perusahaan pembangkit dan juga masyarakat setempat.


5. Penutup
Dengan memperhatikan kecenderungan-kecenderungan perkembangan teknologi yang kini terjadi, beberapa catatan dapat dibuat. Penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar pembangkitan energi listrik akan meningkat dengan pesat di Indonesia. Pemanfaatan batubara juga akan meningkat, sekalipun tidak setajam gas. Posisi batubara sebagai bahan bakar utama masih dapat dipertahankan untuk beberapa tahun kedepan. Penggunaan energi nuklir secara global akan menggantikan peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil (minyak bumi – batubara – gas alam) secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan listrik dengan karakteristik beban yang konstan (Jawa – Bali). Pemanfaatan minyak akan banyak menurun. Minat akan energi terbarukan akan meningkat juga, sekalipun secara relatif memiliki peran yang masih kecil.
Melimpahnya tenaga surya yang merata dan dapat ditangkap di seluruh
kepulauan Indonesia hampir sepanjang tahun merupakan sumber
energi listrik yang sangat potensial. Oleh karena itu, PV dan biomassa diperkirakan akan meningkat dengan pesat. Selain itu ada juga pemanfaatan energi panas bumi bisa menjadi alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Tetapi pemanfaatan energi panas bumi tidak bisa maksimal karena persediaannya sangat terbatas dan teknologi untuk mengelolanya dianggap mahal.
Efisiensi pembangkitan tenaga listrik akan meningkat, bukan saja karena teknologi pembangkitannya menjadi lebih baik, akan tetapi juga karena pengusahaan tenaga listrik makin lama makin banyak mempergunakan otomatisasi. Dan juga perlu disebut masalah lingkungan akan menjadi lebih kecil karena perkembangan teknologi yang lebih bersahabat lingkungan.
REFERENCE :
Paul Breeze, Power Generation Technologies, Jordan Hill, Oxford, 2005.

Presidential degree 5, 2006

Dr. Ir. Pekik A. Dahono, Sumber Energi Alternatif (SEA), Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik, Teknik Elektro ITB

Prof. Ir. Abdul Kadir, IPM, Beberapa Kecenderungan Perkembangan Teknologi Pembangkit Listrik, Ketua Sekolah Tinggi Teknik Yayasan PLN, Jakarta

Dr. Ir. Wilson Walery Wenas, Teknologi Sel Surya : Perkembangan Dewasa Ini dan yang Akan Datan, Laboratorium Semikonduktor, Fisika-ITB

Teguh Priyambodo, Pembangkit Listrik Tenaga Surya: Memecah Kebuntuan Kebutuhan Energi Nasional dan Dampak Pencemaran Lingkungan